(Gambar ilustrasi dari internet) |
Apa
sebenarnya motif atau latar belakang sejarah (karena menurut Alkitab tidak
demikian), sehingga ketika orang Kristen menyebut mereka sedang “beribadah” di
dalam gereja (tempat suci, Rumah Tuhan, Bait Allah) mereka tetap mengenakan
alas kaki baik sandal maupun sepatu? Bukankah alas kaki itu identik dengan sesuatu
yang kotor, maksudnya di antara semua pakaian yang dikenakan manusia alas
kakilah yang berhubungan langsung dengan yang objek yang kotor? Dan sudah
sangat terbukti setiap selesai ibadah – termasuk gereja kami – lantai gereja
wajib dibersihkan (disapu) jika tidak ingin dicap gereja yang jorok (setidaknya
itu standar para ibu yang akan berang dan stres jika ada debu atau pasir di
lantai rumah mereka entah itu karena ulah anak mereka bahkan suami mereka).
Menurut
Gereja Advent (GMAHK) (saya seorang Advent), yang selalu memperingati kematian
Yesus melalui acara Perjamuan Kudus (biasanya ini diperingati tiap triwulan),
bahwa kompor dan oven yang digunakan untuk memanggang roti perjamuan tidak
boleh digunakan untuk memanggang roti apapun atau masakan apapun kecuali untuk
perjamuan kudus. Pertimbangannya adalah oven tersebut sudah ditahbiskan
(diasingkan, dikhususkan) hanya untuk perjamuan kudus. Dalam prakteknya sejauh
pengamatan saya selama ini hal itu berjalan dengan baik. Tapi dalam pikiran
saya kemudian muncul pertanyaan: Apakah oven tersebut lebih suci daripada
gereja yang juga sudah ditahbiskan? Dalam rangkaian upacara tersebut juga ada
hal yang aneh jika ditinjau menurut prinsip Alkitab. Sebelum acara perjamuan
biasanya diawali dengan pembasuhan kaki dimana dua orang yang berpasangan
saling (bergantian) membasuh kaki pasangannya dan makna rohaninya adalah agar
kita mau merendahkan diri seperti teladan yang diberikan Yesus yang mau
membasuh kaki murid-muridNya. Lalu apakah upacara pembasuhan kaki itu tidak ada makna jasmaninya sama sekali? Makna jasmaninya tentu adalah agar tubuh kita
yang kotor (kaki) tidak mengotori rumah yang akan kita masuki serta agar kita
pun merasa nyaman bila (setidaknya kaki) kita bersih.
Nah, hal
yang bertentangan tersebut adalah setelah
pembasuhan kaki selesai maka mereka masuk ke dalam gereja dengan memakai alas
kaki kembali. Tidak seperti Yesus yang tertulis dalam Lukas 7:44
: “Dan sambil berpaling kepada perempuan
itu, Ia berkata kepada Simon: "Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke
rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi
dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya”.
Menurut Anda, apakah setelah membasuh kaki, Yesus dan termasuk
orang Israel lainnya akan memakai alas kaki kembali saat masuk ke dalam rumah? Menurut
saya, tidak! Karena sangat tidak mungkin saat kaki kita sudah berdebu tetapi alas kaki
yang dipakai masih bersih (apalagi di daerah Timur Tengah yang bergurun pasir).
Dan tidak mungkin pula karena berdebu, alas kaki tadi ikut juga dibasuh
kemudian dipakai lagi dan dibawa masuk ke dalam rumah dengan kondisi basah!
Sebagai perbandingan juga, di jaman Perjanjian Lama dalam
upacara di Bait Suci (Kemah Suci) para imam harus membasuh kaki dan tangannya
sebelum masuk ke dalam Kemah Suci (Kel.30:20 “Apabila mereka masuk ke dalam Kemah Pertemuan, haruslah mereka membasuh
tangan dan kaki dengan air, supaya mereka jangan mati. Demikian juga apabila
mereka datang ke mezbah itu untuk menyelenggarakan kebaktian dan untuk membakar
korban api-apian bagi TUHAN”).
Di jaman gereja saat ini, apakah hanya karena KASIH KARUNIA
prinsip “bersih-suci” itu tidak diperlukan lagi, bahkan setidaknya hanya untuk
melepas alas kaki di luar gereja? Apakah makna dari upacara pembasuhan kaki
hanya makna rohani dan makna jasmani tidak ada sama sekali? Mungkin ada yang
langsung menyanggah hal ini, bahwa alas kaki yang dipakai terutama di daerah
perkotaan sudah cukup bersih, bahkan debu pun tidak ada yang menempel. Hmm. Lalu
apakah saat upacara membasuh kaki, itu dilakukan karena kaki orang yang kita
basuh itu kotor berdebu dan berdaki? Apakah saat ikut memakan roti dan minum
anggur perjamuan karena kita lapar dan haus? Atau hanya karena kita telah lupa
seperti apa perjamuan itu? Tidak ‘kan? Semua itu kita lakukan sebagai lambang;
lambang kerendahan hati dan penurutan dan untuk mengingatkan kita akan kasihNya.
Melepas alas kaki di luar gereja juga adalah sebagai lambang. Lambang
penghormatan dan kesucian (bila dikaitkan dengan upacara di Bait Suci). Dengan
kata lain, saat kita yakin bahwa sepatu kita bersih bebas dari debu, itupun kita
tetap harus melepas alas kaki, apalagi jika tidak yakin! Dan mungkin tidak kita
sadari, bagi saudara kita Muslim di seluruh dunia hal ini menjadi tontonan yang
sangat aneh. Orang Nasrani masuk ke rumah ibadahnya pakai alas kaki, tapi saat masuk
ke rumah sendiri kebalikannya, bahkan lantai yang masih bersih pun bila perlu
dipel 3 kali sehari (kebersihan rumah sangat dijaga) !!
Beberapa
pertanyaan akan saya ajukan.
Pertama: Apa sih
kepentingannya sehingga sepatu harus dipakai di dalam ibadah?
Istri saya
bilang : Kalau tidak pakai sepatu atau sandal kaki terasa dingin, pa! Jawaban istri saya sebenarnya tidak
bisa diterima karena toh kalau di
rumah (termasuk kebiasaan orang Indonesia pada umumnya) biasanya tidak
menggunakan alas kaki. Dan kalau hanya masalah dingin, kita bisa memakai kaus
kaki yang tebal. Bahkan karena keterbatasan fasilitas di sebagian keluarga,
saat kebaktian bersama di rumah, terkadang kebaktian berlangsung (tahan) dengan
hanya duduk lesehan langsung di lantai tanpa tikar atau ambal. Sedangkan di
gereja kita masih bisa duduk di bangku atau kursi. Tapi kemudian saya menjawab
untuk mengikuti alur, kalau begitu di gereja kita pasang saja karpet atau ambal.
Namun itu tidak terlaksana karena tidak ada jemaat yang mendukung. Saat ini saya
tidak memakai alas kaki setiap masuk ke dalam gereja.
(Gambar ilustrasi dari internet) |
Kedua: Apakah hal itu disebabkan karena kalau
tidak mengenakan alas kaki kelihatan lucu dan janggal karena pada umumnya
pakaian yang dipakai saat ibadah itu relatif sama dengan pakaian pesta dan atau
pakaian kerja di kantor?
(Foto-foto ilustrasi dari internet) |
Melihat
foto-foto di atas kita semua bisa membayangkan betapa tidak sempurnanya
penampilan kita jika tanpa ..... karena seperti itulah pada umumnya pakaian yang dipakai saat ibadah.
Rekomendasi
saya kemudian adalah jika pihak pengantin masih ingin tampil gagah dan anggun
dengan pakaian pengantin lengkap dengan sepatu maka seharusnya upacara
pemberkatan nikah jangan dilakukan di dalam gereja. Beberapa kalangan mungkin tidak
sepakat dengan ide ini. Tapi, bukankah yang utama dalam upacara pernikahan
adalah: Siapa yang memberkati, bukan: Dimana diberkati? Sama halnya dengan
upacara pembaptisan, dimanapun boleh dibaptis asal yang membaptisnya adalah
orang yang mempunyai otoritas untuk membaptis. Harap diingat, yang saya
persoalkan ini bukan masalah pemberkatan nikah tidak boleh di gereja, tapi soal
alas kaki yang dipakai di gereja.
Mungkin sebagian besar orang Kristen
percaya (bahkan Muslim) posisi (sikap) manusia yang menunjukkan bentuk
kerendahan hati dan kesungguhan hati di hadapan Tuhan adalah bersujud (biasa
disebut berlutut, bertelut) atau dalam bahasa Batak disebut marsinggang. Sering saya melihat
khususnya orang yang memakai sepatu, saat berdoa dengan posisi berlutut,
mungkin karena merasa tidak nyaman dengan sepatu yang dipakainya sebelum berdoa dia
terlebih dahulu melepas sepatunya. Namun usai berdoa (duduk kembali di bangku) dia
akan memakainya kembali.
Sekarang
coba kita bayangkan dan bandingkan saat ibadah di rumah dan di gereja dengan
posisi duduk di lantai (seperti Muslim). Dengan posisi duduk seperti itu, kira-kira
apakah kita juga akan tetap merasa nyaman dan ngotot memakai alas kaki? Pasti
akan kita lepas bukan? Dan saya yakin seandainya dalam ibadah Kristen ibadahnya
dengan posisi bertelut atau duduk bersila (tentunya bukan di bangku tapi di
lantai), sepatu atau sandal yang menempel di kaki saat ibadah di gereja pasti
sudah lama tidak ada lagi.
Untuk
menanamkan hal ini sedini mungkin, di rumah, saya memberikan ilustrasi kepada anak
kami Nicholas yang berusia 7 tahun. Saya katakan bahwa ibadah di gereja dan di
rumah adalah sama-sama berdoa kepada Tuhan. Kemudian saya bercerita (membuat ilustrasi), suatu pagi
misalnya Mama panggil Nicholas untuk berdoa (renungan pagi).
Mama : “Ko,
ayo sini kita berdoa.”
Nicholas : “Iya
Ma, tunggu. Aku mau pakai sepatu dulu sebelum berdoa.”
Mama :
“Haa?? Ngapain pakai sepatu, Ko?”
Nicholas : “Kan
sama kayak di gereja, Ma. Kalau berdoa harus pakai sepatu.”
Sampai di situ
Nicholas langsung merespon, “Ngapain pakai sepatu, Pa, kotorlah rumah kita?!”
Saya lalu menjawabnya, “Iya, memang jadi kotor. Makanya kalau Koko (panggilan
untuk Nicholas) bilang kayak gitu Mama pasti merasa aneh dan gak akan dibolehin
karena rumah kita jadi kotor. Dan seharusnya di gereja juga begitu. Jadi kalau
begitu kenapa Koko tetap pakai sepatu kalau di gereja, karena gereja itu rumah
Tuhan lho?”
Sambil senyum-senyum dan cengar-cengir dia menjawab, “Kan
orang-orang sama Pendeta pakai sepatu juga, Pa.”
Kelima: Apakah hal itu disebabkan karena gereja itu
(mungkin) fungsinya hanya untuk tempat kumpul semata?
Yah mungkin
gereja hanyalah tempat pertemuan biasa, dengan pemikiran daripada setiap Sabtu
atau Minggu menyewa aula, gedung pertemuan atau meeting room di hotel mending
(lebih baik) dibangun satu “gereja” pertemuan, kan bisa menghemat, dananya bisa dipakai untuk pelayanan lain
seperti; membantu para janda, fakir miskin dan anak terlantar misalnya. Ya, mungkin sebenarnya gereja hanya bangunan
biasa, bukan rumah Tuhan seperti mesjid (bukan sesuatu yang suci), bukan
seperti doa yang sering dikumandangkan oleh para pendeta, “Ya Tuhan Allah kami,
di Kaabah yang suci ini kami
berkumpul..” atau, “di rumahMu ini
kami semua umatMu membawa permohonan kami”.
Dengan kata lain bagi orang yang berpendapat gereja sama saja dengan gedung pertemuan apapun – seandainya bukan karena pertimbangan akan bertambahnya keanehan baru bagi orang Muslim – maka gereja tidak masalah digunakan untuk kegiatan konser duniawi sekalipun. Jadi, jika gereja hanya gedung pertemuan biasa, itu artinya
gereja pun bisa dijadikan tempat resepsi pernikahan, bisa disewakan untuk acara
seminar, acara konser Cherrybelle atau Metallica dan berbagai acara lainnya,
meskipun seumur hidup saya belum pernah melihat hal itu. Yang sering saya
lihat, gereja dipakai untuk pementasan drama (teater) rohani, tempat untuk
rapat, festival lagu rohani, gems rohani plus energizer dan yang lainnya. Tetapi
menurut saya kegiatan-kegiatan tersebut pun seharusnya tidak dilakukan di
gereja, karena itu bukan kegiatan ibadah. Dan seharusnya prinsip kompor dan oven
yang sudah ditahbiskan untuk perjamuan kudus juga harus diberlakukan. Gereja hanya untuk ibadah. Titik !
Keenam: Apakah hal itu disebabkan karena ibadah orang Kristen seperti sebuah acara pertunjukan di panggung?
Ketujuh: Apakah hal itu disebabkan karena gereja hanya bangunan yang berfungsi sebagai kantor pos yang mengirimkan permohonan (doa) kepada Tuhan?
Ketujuh: Apakah hal itu disebabkan karena gereja hanya bangunan yang berfungsi sebagai kantor pos yang mengirimkan permohonan (doa) kepada Tuhan?
Akhirnya, dari
beberapa pertanyaan dan alasan (kemungkinan) di atas, saya menilai dan
menyimpulkan bahwa mungkin (dugaan paling kuat) posisi atau sikap ibadah dengan
duduk di bangku adalah faktor penyebab terbesar mengapa orang Kristen merasa
tidak berdosa, tetap merasa nyaman saat beribadah dengan ber-alas kaki di dalam
gereja.
Saat duduk di bangku meskipun mengenakan sepatu, kita akan tetap merasa
nyaman dan tidak pernah memikirkan (membandingkan) kenyamanan atau kelayakan antara
saat ibadah di dalam kamar (rumah) kita yang tidak memakai sepatu dengan saat
ibadah di dalam gereja dengan memakai sepatu.
Perasaan
nyaman ini semakin diperkuat pula dengan etika (mungkin tidak tertulis) hampir
di semua gereja bahwa, saat kita beribadah hendaklah kita memakai pakaian yang
terbaik yang kita miliki sebagai wujud rasa hormat kita menghadap hadirat Tuhan.
Sering dibuat komparasi saat menghadap bupati saja atau pejabat yang dihormati
kita akan memakai pakaian yang bagus. Jadi kalau Anda masih punya sepatu
sebaiknya pakailah sepatu saat bertemu Tuhan di gereja, bukan sandal walaupun sandal
Anda lebih mahal dari sepatu. (Etika lainnya, kalau Anda punya sepatu berbahan
kulit (yang formal) pakailah itu bukan sepatu kets). Kalau Anda punya kemeja atau
kaos berkerah pakailah itu, bukan kaos oblong. Sampai sekarang “moral” itu
tertanam dan berakar cukup dalam pada sebagian besar Kristen di Indonesia dan
mungkin seluruh dunia sampai-sampai banyak Kristen menganggap berpakaian terbaik
dan lengkap dari rambut sampai ujung kaki di dalam gereja sebagai bagian dari
“sikap hormat” kepada sang Pencipta. Dengan
kata lain saat beribadah di gereja alas kaki merupakan bagian tak terpisahkan
dari pakaian kehormatan untuk menghadap Sang Khalik. Sejak masih anak-anak
pemikiran itu sudah ditanamkan (didoktrin) oleh orang tua kepada anak-anaknya.
Saya punya
pengalaman. Ada seorang Bapak yang sudah tua, telapak kakinya bengkak. Kemudian
saat dia memakai sepatu untuk bersiap-siap ke gereja (pada hari Sabat) ternyata
kakinya terasa agak sakit dan terasa tidak nyaman. Akhirnya dia memutuskan untuk
tidak berangkat ke gereja, meskipun istrinya sudah menyarankan untuk memakai sandal
saja, karena sebenarnya hari sebelumnya dengan kaki bengkak pun dia bisa
beraktifitas dengan memakai sandal. Bahkan pada pagi itu dia masih bisa
berjalan seperti biasa. Seperti uraian di atas, alasan orang tua itu adalah tidak baik dan tidak pantas hanya memakai sandal
ke kebaktian di gereja. Kita semua mungkin akan menyalahkan orang tua itu,
bukan menyalahkan “etika” tidak tertulis di gereja-gereja tadi.
Sesungguhnya prinsip tidak boleh
menyalahkan orang lain itu benar bahkan bisa dikatakan itu menjadi suatu
doktrin bagi para pengikut Kristus. Karena dalam hal apapun Tuhan telah
memberikan kepada setiap kita kuasa untuk memilih. Tetapi kita juga punya
doktrin lain yaitu kita berdosa apabila sikap dan perbuatan kita (yang tidak
benar) membuat orang lain berdosa. Ini sering disebut sebagai batu sandungan. Sekedar berbagi hasil pengamatan, wanita yang memakai
rok mini saat duduk di bangku gereja, meskipun sebenarnya merasa risih (nggak rela “isi” roknya dilihat orang
lain), biasanya akan memilih posisi dimana rok mini-nya tertutupi oleh orang
yang duduk di depannya.
Kembali ke soal
alas kaki, saat kita mengatakan bahwa gereja ini adalah rumah Tuhan, maka seharusnya kita masuk
haruslah dengan sikap hormat dan dengan kerendahan hati untuk menjaga kesucian
tempat itu.
Jika kita sebagai manusia tidak suka sesuatu yang kotor, apalagi
Tuhan yang Mahasuci dan Mahakudus. Atau adakah di antara kita yang merasa, saya
suka yang bersih, Tuhan nggak? Mengapa
Musa diperintahkan Allah untuk membuka kasutnya pada peristiwa dalam Keluaran 3:5? Apakah karena tempat itu merupakan tempat yang suci (telah disucikan)
sebelumnya? Bukan! Tempat itu disebut
suci (kudus) karena Tuhan (yang Maha Kudus) hadir di tempat itu. Lalu
bagaimana dengan gereja? Bukankah Tuhan sudah mengatakan dan kita juga percaya,
“Sebab di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18 :20).
Atau karena yang berkumpul jumlahnya bukan 2 atau 3 lagi, tapi sudah
puluhan bahkan ratusan, maka...? Jika saat memasuki (bertamu) ke rumah sesama
manusia saja kita akan melepas alas kaki, apalagi (terlebih) saat masuk
(bertamu) ke rumah Tuhan. Atau mungkin, kita sebenarnya tidak pernah atau
sudah tidak percaya kalimat dalam ayat itu, karena sudah terlanjur
terdoktrin bahwa gereja tidak lebih suci dari sebuah aula, auditorium
atau gedung serbaguna?
Barangkali
kita akan membandingkan Kristen di Eropa atau Amerika yang mempunyai budaya
terbiasa memakai alas kaki di dalam rumah atau dengan para orang kaya (seperti
di sinetron) yang punya pembantu yang bisa mengepel lantai rumahnya 3 – 5 kali
sehari. Sebagai orang Indonesia (bahkan Asia) yang punya budaya yang cukup kental dan merata selalu melepas alas kaki sebelum memasuki rumah (budaya ini lebih sesuai dengan
budaya umat Israel yang tertulis di Alkitab), mungkin tidak menjadi persoalan
kalau itu kita tiru, tetapi itu hanya berlaku untuk diri sendiri bukan untuk
semua orang Indonesia.
Saudaraku sekalian
para pengikut Kristus, apa yang Anda rasakan dan pikirkan setelah membaca
tulisan singkat ini? Apakah menurut Anda gereja hanyalah bangunan biasa? Apakah
menurut Anda saudara kita umat Muslim itu yang lebay ketika masuk ke rumah ibadah mereka. Wudhu dan melepas alas
kaki itu tidak penting, yang penting adalah hati. Sehingga akhirnya dengan
“berselimut Kasih Karunia” kita pun menjadi orang yang “Super PD”, ibadah orang Kristen-lah yang
terbaik, karena saat masuk ke gereja dipastikan bahwa hati dan pikirannya tertuju
hanya kepada Tuhan meskipun tidak wudhu dan tidak melepas alas kaki. Wow !!
Atau Anda termasuk orang yang
mempertanyakan kebiasaan aneh orang Kristen tersebut? Apakah Anda setuju dengan
beberapa uraian di bawah ini yang menjadi faktor penyebab Kristen selalu
memakai alas kaki dalam ibadah di gereja?
1. Posisi ibadah di gereja yang duduk di
bangku (kursi),
2. Etika (aturan tidak tertulis) yang
sudah umum, kalau menghadap Tuhan di gereja (khususnya pada hari ibadah) kita harus berpakaian terbaik dan lengkap dari ujung
rambut sampai ujung kaki, dan;
selanjutnya faktor-faktor
tadi diperkuat (lebih cenderung sebagai pembenaran ego) dengan iman (doktrin) Kristen
berikut ini:
1. Kita diselamatkan (masuk ke surga
kekal) bukan karena usaha manusia, termasuk beribadah ke gereja tapi karena
KASIH KARUNIA (kemurahan Tuhan semata),
2. Sebesar apapun usaha manusia untuk
suci (termasuk membuka kasut sebelum masuk ke “rumahNya”) dia tetaplah manusia
berdosa di hadapan Tuhan,
Dalam
kesempatan ini saya tidak ingin menyalahkan ibadah yang duduk di bangku, karena
dari segi kenyamanan menurut saya memang itu lebih nyaman daripada duduk
lesehan. Meskipun saya harus katakan juga, ada pemikiran dalam
hati saya, dengan pertimbangan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan (bukan
sesama ciptaan), yang statusnya
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat... jauh di bawah Tuhan Sang
Pencipta, maka seharusnya saat menghadap “King of the king” kita manusia hanya
pantas bersujud (duduk di lantai), bukannya duduk di kursi. Dan mungkin
itulah faktor yang menginspirasi seorang berinisial JH untuk menulis lagu
“Duduk Dekat Kaki Yesus”. Jadi – seperti judul lagu itu dan ribuan lagu
rohani yang sering menggambarkan bahwa menghadap Tuhan itu dengan “bersujud-menyembah” – saat menghadap
Sang Pencipta posisi kepala kita bukan ’sejajar’ dengan kepalaNya tapi sejajar dengan
lututNya. Itulah sebabnya saya juga dengan sangat senang hati akan mendukungnya
bila Kristen melakukan hal itu (ibadah dengan duduk di lantai).
Pada
kesempatan ini saya hanya ingin mengingatkan dan harus mengatakan bahwa
kebiasaan Kristen yang memakai alas kaki saat ibadah di gereja itu salah karena bertentangan dengan
prinsip kesucian dan kekudusan yang Tuhan telah tanamkan, yang pada aspek
kehidupan lainnya sangat kita tekankan dengan mengutip berbagai ayat Alkitab (tidak cukup sekedar “hati yang bersih”).
Juga
bertentangan karena sikap (perlakuan) kita terhadap gereja berbeda dengan
kebiasaan kita di rumah sendiri, apalagi karena kita percaya gereja itu adalah
rumah Tuhan. Kalau prinsip “gereja adalah rumah Tuhan” itu pun tidak ada lagi, yeah mau bilang apa lagi. Mungkin itu
adalah pertimbangan terakhir dan terbesar yang seharusnya bisa mengubah kebiasaan
kita. Dengan kata lain dan sedikit berandai-andai, seandainya saat kita masuk
ke gereja, Tuhan tidak dapat kita temui karena sedang ke luar kota, kita harus
tetap menjaga kebersihan (kesucian) gereja itu, karena itu adalah rumah Tuhan.
Jadi apalagi jika Tuhan sedang ada di tempat?!
Atau mengutip kembali tulisan sebelumnya, saat kita yakin bahwa sepatu kita bersih bebas dari debu kita tetap harus melepas alas kaki, apalagi jika tidak yakin!
Atau pernahkah kita berpikir bahwa mungkin karena keanehan "ibadah" Kristen (di gereja) itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab Muslim tidak tertarik menjadi pengikut Kristus?
Kiranya
Tuhan memberkati kita sekalian.
APAKAH SEPATU TERMASUK PERLENGKAPAN IBADAH DI GEREJA? MANA YANG LEBIH “SUCI” GEREJA (RUMAH IBADAH) ATAU RUMAHMU?
4/
5
Oleh
lassee
3 komentar
Fakta yg benar benar nyata
ReplyFakta yg benar benar nyata
ReplyTulisan yg menarik. Cerdas.
Reply