Senin, 01 Juni 2015

APAKAH SEPATU TERMASUK PERLENGKAPAN IBADAH DI GEREJA? MANA YANG LEBIH “SUCI” GEREJA (RUMAH IBADAH) ATAU RUMAHMU?


Beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan hal yang saya pelajari dari Alkitab, saya merasa aneh dan dalam pikiran saya timbul pertanyaan yang tidak bisa saya jawab sendiri dan jawaban yang diberikan orang lain pun tetap tidak bisa saya terima. Sebagai Kristen saya merasa aneh mengapa orang Kristen saat beribadah di gereja tetap mengenakan  alas kaki. Sebagai orang Indonesia saya langsung berpikir apakah sebenarnya rumah yang didiami oleh jemaat “lebih suci” daripada gereja yang katanya adalah rumah Tuhan. Dasar pemikirannya adalah saat (sebelum) masuk ke dalam rumah saja orang Indonesia akan membuka alas kakinya di luar, kok malah saat ibadah di “rumah Tuhan” alas kaki tetap dipakai.

(Gambar ilustrasi dari internet)

Apa sebenarnya motif atau latar belakang sejarah (karena menurut Alkitab tidak demikian), sehingga ketika orang Kristen menyebut mereka sedang “beribadah” di dalam gereja (tempat suci, Rumah Tuhan, Bait Allah) mereka tetap mengenakan alas kaki baik sandal maupun sepatu? Bukankah alas kaki itu identik dengan sesuatu yang kotor, maksudnya di antara semua pakaian yang dikenakan manusia alas kakilah yang berhubungan langsung dengan yang objek yang kotor? Dan sudah sangat terbukti setiap selesai ibadah – termasuk gereja kami – lantai gereja wajib dibersihkan (disapu) jika tidak ingin dicap gereja yang jorok (setidaknya itu standar para ibu yang akan berang dan stres jika ada debu atau pasir di lantai rumah mereka entah itu karena ulah anak mereka bahkan suami mereka).

Menurut Gereja Advent (GMAHK) (saya seorang Advent), yang selalu memperingati kematian Yesus melalui acara Perjamuan Kudus (biasanya ini diperingati tiap triwulan), bahwa kompor dan oven yang digunakan untuk memanggang roti perjamuan tidak boleh digunakan untuk memanggang roti apapun atau masakan apapun kecuali untuk perjamuan kudus. Pertimbangannya adalah oven tersebut sudah ditahbiskan (diasingkan, dikhususkan) hanya untuk perjamuan kudus. Dalam prakteknya sejauh pengamatan saya selama ini hal itu berjalan dengan baik. Tapi dalam pikiran saya kemudian muncul pertanyaan: Apakah oven tersebut lebih suci daripada gereja yang juga sudah ditahbiskan? Dalam rangkaian upacara tersebut juga ada hal yang aneh jika ditinjau menurut prinsip Alkitab. Sebelum acara perjamuan biasanya diawali dengan pembasuhan kaki dimana dua orang yang berpasangan saling (bergantian) membasuh kaki pasangannya dan makna rohaninya adalah agar kita mau merendahkan diri seperti teladan yang diberikan Yesus yang mau membasuh kaki murid-muridNya. Lalu apakah upacara pembasuhan kaki itu tidak ada makna jasmaninya sama sekali? Makna jasmaninya tentu adalah agar tubuh kita yang kotor (kaki) tidak mengotori rumah yang akan kita masuki serta agar kita pun merasa nyaman bila (setidaknya kaki) kita bersih.

Nah, hal yang bertentangan tersebut adalah setelah pembasuhan kaki selesai maka mereka masuk ke dalam gereja dengan memakai alas kaki kembali. Tidak seperti Yesus yang tertulis dalam Lukas 7:44 : “Dan sambil berpaling kepada perempuan itu, Ia berkata kepada Simon: "Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya”.
Menurut Anda, apakah setelah membasuh kaki, Yesus dan termasuk orang Israel lainnya akan memakai alas kaki kembali saat masuk ke dalam rumah? Menurut saya, tidak! Karena sangat tidak mungkin saat kaki kita sudah berdebu tetapi alas kaki yang dipakai masih bersih (apalagi di daerah Timur Tengah yang bergurun pasir). Dan tidak mungkin pula karena berdebu, alas kaki tadi ikut juga dibasuh kemudian dipakai lagi dan dibawa masuk ke dalam rumah dengan kondisi basah!

Sebagai perbandingan juga, di jaman Perjanjian Lama dalam upacara di Bait Suci (Kemah Suci) para imam harus membasuh kaki dan tangannya sebelum masuk ke dalam Kemah Suci (Kel.30:20 “Apabila mereka masuk ke dalam Kemah Pertemuan, haruslah mereka membasuh tangan dan kaki dengan air, supaya mereka jangan mati. Demikian juga apabila mereka datang ke mezbah itu untuk menyelenggarakan kebaktian dan untuk membakar korban api-apian bagi TUHAN”).
Di jaman gereja saat ini, apakah hanya karena KASIH KARUNIA prinsip “bersih-suci” itu tidak diperlukan lagi, bahkan setidaknya hanya untuk melepas alas kaki di luar gereja? Apakah makna dari upacara pembasuhan kaki hanya makna rohani dan makna jasmani tidak ada sama sekali? Mungkin ada yang langsung menyanggah hal ini, bahwa alas kaki yang dipakai terutama di daerah perkotaan sudah cukup bersih, bahkan debu pun tidak ada yang menempel. Hmm. Lalu apakah saat upacara membasuh kaki, itu dilakukan karena kaki orang yang kita basuh itu kotor berdebu dan berdaki? Apakah saat ikut memakan roti dan minum anggur perjamuan karena kita lapar dan haus? Atau hanya karena kita telah lupa seperti apa perjamuan itu? Tidak ‘kan? Semua itu kita lakukan sebagai lambang; lambang kerendahan hati dan penurutan dan untuk mengingatkan kita akan kasihNya. Melepas alas kaki di luar gereja juga adalah sebagai lambang. Lambang penghormatan dan kesucian (bila dikaitkan dengan upacara di Bait Suci). Dengan kata lain, saat kita yakin bahwa sepatu kita bersih bebas dari debu, itupun kita tetap harus melepas alas kaki, apalagi jika tidak yakin! Dan mungkin tidak kita sadari, bagi saudara kita Muslim di seluruh dunia hal ini menjadi tontonan yang sangat aneh. Orang Nasrani masuk ke rumah ibadahnya pakai alas kaki, tapi saat masuk ke rumah sendiri kebalikannya, bahkan lantai yang masih bersih pun bila perlu dipel 3 kali sehari (kebersihan rumah sangat dijaga) !!
Sebagai seorang Kristen yang mempercayai bahwa tubuh kita merupakan bait Allah  (1 Kor. 6 : 19), sehingga kita harus menjaga dan memeliharanya, tidak memasukkan makanan atau minuman yang diharamkan Tuhan (unclean) (dalam Imamat 11) atau zat yang bisa merusak dan mengotori bait tersebut, bukankah seharusnya kita juga tidak memasukkan sesuatu yang kotor (unclean) ke dalam gereja yang katanya adalah tubuh Kristus? Tentu gereja bersih (suci) bukan hanya secara rohani saja (jiwa jemaat), tetapi juga jasmani (fisik). Ada beberapa teman yang berargumen bahwa gereja itu adalah tempat mengubah manusia yang “kotor”. Jadi siapa saja boleh masuk ke dalam gereja. Penjahat, maling, pelacur, koruptor dan siapa saja bisa. Gereja itu seperti mesin cuci, katanya. Oh ya tentu saja, saya menjawab. Tapi yang dibersihkan itu kan bukan pakaian (termasuk sepatu), tapi hati manusia! Kalau gereja bisa mencuci pakaian yang kotor, usaha laundry jadinya gak laku dong. Sering-sering saja ke gereja, sehingga noda apapun di pakaian kita pasti akan hilang!! Jadi mungkin dalam pikiran sebagian Kristen, sebagai hal yang paling utama rohani (hati) harus bersih, tapi kalau jasmani termasuk (bangunan) gereja, kotor gak apa-apa. Kan, KASIH KARUNIA (baca: yang penting HATI-nya) !! Lagian ada koster kan ?!!

Beberapa pertanyaan akan saya ajukan.
Pertama: Apa sih kepentingannya sehingga sepatu harus dipakai di dalam ibadah?
Istri saya bilang : Kalau tidak pakai sepatu atau sandal kaki terasa dingin, pa! Jawaban istri saya sebenarnya tidak bisa diterima karena toh kalau di rumah (termasuk kebiasaan orang Indonesia pada umumnya) biasanya tidak menggunakan alas kaki. Dan kalau hanya masalah dingin, kita bisa memakai kaus kaki yang tebal. Bahkan karena keterbatasan fasilitas di sebagian keluarga, saat kebaktian bersama di rumah, terkadang kebaktian berlangsung (tahan) dengan hanya duduk lesehan langsung di lantai tanpa tikar atau ambal. Sedangkan di gereja kita masih bisa duduk di bangku atau kursi. Tapi kemudian saya menjawab untuk mengikuti alur, kalau begitu di gereja kita pasang saja karpet atau ambal. Namun itu tidak terlaksana karena tidak ada jemaat yang mendukung. Saat ini saya tidak memakai alas kaki setiap masuk ke dalam gereja.

(Gambar ilustrasi dari internet)

Kedua: Apakah hal itu disebabkan karena kalau tidak mengenakan alas kaki kelihatan lucu dan janggal karena pada umumnya pakaian yang dipakai saat ibadah itu relatif sama dengan pakaian pesta dan atau pakaian kerja di kantor?



Lihat juga saat pernikahan Kristen (pemberkatan nikah) di gereja. Pasti akan sangat lucu dan geli memang kalau pengantinnya tidak memakai alas kaki, termasuk para hadirin atau undangan yang sudah pasti berpakaian pesta. Untuk kaum pria biasanya pakaian pesta dan pakaian kerja (di kantor) sulit dibedakan, bahkan pakaian ibadah.

                                                      





(Foto-foto ilustrasi dari internet)

Melihat foto-foto di atas kita semua bisa membayangkan betapa tidak sempurnanya penampilan kita jika tanpa ..... karena seperti itulah pada umumnya pakaian yang dipakai saat ibadah.

Rekomendasi saya kemudian adalah jika pihak pengantin masih ingin tampil gagah dan anggun dengan pakaian pengantin lengkap dengan sepatu maka seharusnya upacara pemberkatan nikah jangan dilakukan di dalam gereja. Beberapa kalangan mungkin tidak sepakat dengan ide ini. Tapi, bukankah yang utama dalam upacara pernikahan adalah: Siapa yang memberkati, bukan: Dimana diberkati? Sama halnya dengan upacara pembaptisan, dimanapun boleh dibaptis asal yang membaptisnya adalah orang yang mempunyai otoritas untuk membaptis. Harap diingat, yang saya persoalkan ini bukan masalah pemberkatan nikah tidak boleh di gereja, tapi soal alas kaki yang dipakai di gereja.

Ketiga: Apakah hal itu disebabkan karena ibadah di gereja itu posisinya duduk di bangku atau kursi yang sudah disediakan sehingga tetap merasa nyaman dengan sepatu menempel di kaki?
Mungkin sebagian besar orang Kristen percaya (bahkan Muslim) posisi (sikap) manusia yang menunjukkan bentuk kerendahan hati dan kesungguhan hati di hadapan Tuhan adalah bersujud (biasa disebut berlutut, bertelut) atau dalam bahasa Batak disebut marsinggang. Sering saya melihat khususnya orang yang memakai sepatu, saat berdoa dengan posisi berlutut, mungkin karena merasa tidak nyaman dengan sepatu yang dipakainya sebelum berdoa dia terlebih dahulu melepas sepatunya. Namun usai berdoa (duduk kembali di bangku) dia akan memakainya kembali.
Sekarang coba kita bayangkan dan bandingkan saat ibadah di rumah dan di gereja dengan posisi duduk di lantai (seperti Muslim). Dengan posisi duduk seperti itu, kira-kira apakah kita juga akan tetap merasa nyaman dan ngotot memakai alas kaki? Pasti akan kita lepas bukan? Dan saya yakin seandainya dalam ibadah Kristen ibadahnya dengan posisi bertelut atau duduk bersila (tentunya bukan di bangku tapi di lantai), sepatu atau sandal yang menempel di kaki saat ibadah di gereja pasti sudah lama tidak ada lagi.

Untuk menanamkan hal ini sedini mungkin, di rumah, saya memberikan ilustrasi kepada anak kami Nicholas yang berusia 7 tahun. Saya katakan bahwa ibadah di gereja dan di rumah adalah sama-sama berdoa kepada Tuhan. Kemudian saya bercerita (membuat ilustrasi), suatu pagi misalnya Mama panggil Nicholas untuk berdoa (renungan pagi).
Mama            : “Ko, ayo sini kita berdoa.”
Nicholas        : “Iya Ma, tunggu. Aku mau pakai sepatu dulu sebelum berdoa.”
Mama            : “Haa?? Ngapain pakai sepatu, Ko?”
Nicholas        : “Kan sama kayak di gereja, Ma. Kalau berdoa harus pakai sepatu.”

Sampai di situ Nicholas langsung merespon, “Ngapain pakai sepatu, Pa, kotorlah rumah kita?!” Saya lalu menjawabnya, “Iya, memang jadi kotor. Makanya kalau Koko (panggilan untuk Nicholas) bilang kayak gitu Mama pasti merasa aneh dan gak akan dibolehin karena rumah kita jadi kotor. Dan seharusnya di gereja juga begitu. Jadi kalau begitu kenapa Koko tetap pakai sepatu kalau di gereja, karena gereja itu rumah Tuhan lho?”
Sambil senyum-senyum dan cengar-cengir dia menjawab, “Kan orang-orang sama Pendeta pakai sepatu juga, Pa.”

Keempat: Apakah hal itu disebabkan karena kalau alas kaki dilepas di luar takut dicuri orang?

Kelima: Apakah hal itu disebabkan karena gereja itu (mungkin) fungsinya hanya untuk tempat kumpul semata?
Yah mungkin gereja hanyalah tempat pertemuan biasa, dengan pemikiran daripada setiap Sabtu atau Minggu menyewa aula, gedung pertemuan atau meeting room di hotel mending (lebih baik) dibangun satu “gereja” pertemuan, kan bisa menghemat, dananya bisa dipakai untuk pelayanan lain seperti; membantu para janda, fakir miskin dan anak terlantar misalnya. Ya, mungkin sebenarnya gereja hanya bangunan biasa, bukan rumah Tuhan seperti mesjid (bukan sesuatu yang suci), bukan seperti doa yang sering dikumandangkan oleh para pendeta, “Ya Tuhan Allah kami, di Kaabah yang suci ini kami berkumpul..” atau, “di rumahMu ini kami semua umatMu membawa permohonan kami”. 

Dengan kata lain bagi orang yang berpendapat gereja sama saja dengan gedung pertemuan apapun – seandainya bukan karena pertimbangan akan bertambahnya keanehan baru bagi orang Muslim – maka  gereja tidak masalah digunakan untuk kegiatan konser duniawi sekalipun. Jadi, jika gereja  hanya gedung pertemuan biasa, itu artinya gereja pun bisa dijadikan tempat resepsi pernikahan, bisa disewakan untuk acara seminar, acara konser Cherrybelle atau Metallica dan berbagai acara lainnya, meskipun seumur hidup saya belum pernah melihat hal itu. Yang sering saya lihat, gereja dipakai untuk pementasan drama (teater) rohani, tempat untuk rapat, festival lagu rohani, gems rohani plus energizer dan yang lainnya. Tetapi menurut saya kegiatan-kegiatan tersebut pun seharusnya tidak dilakukan di gereja, karena itu bukan kegiatan ibadah. Dan seharusnya prinsip kompor dan oven yang sudah ditahbiskan untuk perjamuan kudus juga harus diberlakukan. Gereja hanya untuk ibadah. Titik !

Keenam: Apakah hal itu disebabkan karena ibadah orang Kristen seperti sebuah acara pertunjukan di panggung?

Ketujuh: Apakah hal itu disebabkan karena gereja hanya bangunan yang berfungsi sebagai kantor pos yang mengirimkan permohonan (doa) kepada Tuhan?

Akhirnya, dari beberapa pertanyaan dan alasan (kemungkinan) di atas, saya menilai dan menyimpulkan bahwa mungkin (dugaan paling kuat) posisi  atau sikap ibadah dengan duduk di bangku adalah faktor penyebab terbesar mengapa orang Kristen merasa tidak berdosa, tetap merasa nyaman saat beribadah dengan ber-alas kaki di dalam gereja
Saat duduk di bangku meskipun mengenakan sepatu, kita akan tetap merasa nyaman dan tidak pernah memikirkan (membandingkan) kenyamanan atau kelayakan antara saat ibadah di dalam kamar (rumah) kita yang tidak memakai sepatu dengan saat ibadah di dalam gereja dengan memakai sepatu.
Perasaan nyaman ini semakin diperkuat pula dengan etika (mungkin tidak tertulis) hampir di semua gereja bahwa, saat kita beribadah hendaklah kita memakai pakaian yang terbaik yang kita miliki sebagai wujud rasa hormat kita menghadap hadirat Tuhan. Sering dibuat komparasi saat menghadap bupati saja atau pejabat yang dihormati kita akan memakai pakaian yang bagus. Jadi kalau Anda masih punya sepatu sebaiknya pakailah sepatu saat bertemu Tuhan di gereja, bukan sandal walaupun sandal Anda lebih mahal dari sepatu. (Etika lainnya, kalau Anda punya sepatu berbahan kulit (yang formal) pakailah itu bukan sepatu kets). Kalau Anda punya kemeja atau kaos berkerah pakailah itu, bukan kaos oblong. Sampai sekarang “moral” itu tertanam dan berakar cukup dalam pada sebagian besar Kristen di Indonesia dan mungkin seluruh dunia sampai-sampai banyak Kristen menganggap berpakaian terbaik dan lengkap dari rambut sampai ujung kaki di dalam gereja sebagai bagian dari “sikap hormat” kepada sang Pencipta. Dengan kata lain saat beribadah di gereja alas kaki merupakan bagian tak terpisahkan dari pakaian kehormatan untuk menghadap Sang Khalik. Sejak masih anak-anak pemikiran itu sudah ditanamkan (didoktrin) oleh orang tua kepada anak-anaknya.

Saya punya pengalaman. Ada seorang Bapak yang sudah tua, telapak kakinya bengkak. Kemudian saat dia memakai sepatu untuk bersiap-siap ke gereja (pada hari Sabat) ternyata kakinya terasa agak sakit dan terasa tidak nyaman. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak berangkat ke gereja, meskipun istrinya sudah menyarankan untuk memakai sandal saja, karena sebenarnya hari sebelumnya dengan kaki bengkak pun dia bisa beraktifitas dengan memakai sandal. Bahkan pada pagi itu dia masih bisa berjalan seperti biasa. Seperti uraian di atas, alasan orang tua itu adalah tidak baik dan tidak pantas hanya memakai sandal ke kebaktian di gereja. Kita semua mungkin akan menyalahkan orang tua itu, bukan menyalahkan “etika” tidak tertulis di gereja-gereja tadi.

Tidak disadari kebiasaan ini juga (ibadah dengan duduk di bangku) mengakibatkan dampak lain yang tidak bisa diatasi oleh Gereja hingga sekarang. Itu adalah kebiasaan di banyak gereja masih banyak wanita yang merasa tidak berdosa memakai rok mini atau rok span bahkan gaun (dress) mini saat ibadah. Coba kita bayangkan wanita yang memakai rok mini atau gaun mini duduk lesehan atau duduk bersila di lantai (karpet). Bisa-bisa bukan cuma pendeta yang melayani di depan yang hilang konsentrasinya, tetapi jemaat pria pun duduk menjadi tidak tenang. Tetapi pemikiran ini segera ditentang oleh sebagian orang, bahwa kita tidak boleh menyalahkan orang lain ketika kita jatuh ke dalam dosa. Katanya, saat di gereja (dan di mana pun) kendalikan hati dan pikiranmu, fokuslah kepada Allah saja bukan kepada wanita seksi di sebelahmu. Hmmm !!

Sesungguhnya prinsip tidak boleh menyalahkan orang lain itu benar bahkan bisa dikatakan itu menjadi suatu doktrin bagi para pengikut Kristus. Karena dalam hal apapun Tuhan telah memberikan kepada setiap kita kuasa untuk memilih. Tetapi kita juga punya doktrin lain yaitu kita berdosa apabila sikap dan perbuatan kita (yang tidak benar) membuat orang lain berdosa. Ini sering disebut sebagai batu sandungan. Sekedar  berbagi hasil pengamatan, wanita yang memakai rok mini saat duduk di bangku gereja, meskipun sebenarnya merasa risih (nggak rela “isi” roknya dilihat orang lain), biasanya akan memilih posisi dimana rok mini-nya tertutupi oleh orang yang duduk di depannya.
Kembali ke soal alas kaki, saat kita mengatakan bahwa gereja ini adalah rumah Tuhan, maka seharusnya kita masuk haruslah dengan sikap hormat dan dengan kerendahan hati untuk menjaga kesucian tempat itu. 
Jika kita sebagai manusia tidak suka sesuatu yang kotor, apalagi Tuhan yang Mahasuci dan Mahakudus. Atau adakah di antara kita yang merasa, saya suka yang bersih, Tuhan nggak? Mengapa Musa diperintahkan Allah untuk membuka kasutnya pada peristiwa dalam Keluaran  3:5? Apakah karena tempat itu merupakan tempat yang suci (telah disucikan) sebelumnya? Bukan! Tempat itu disebut suci (kudus) karena Tuhan (yang Maha Kudus) hadir di tempat itu. Lalu bagaimana dengan gereja? Bukankah Tuhan sudah mengatakan dan kita juga percaya, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18 :20). Atau karena yang berkumpul jumlahnya bukan 2 atau 3 lagi, tapi sudah puluhan bahkan ratusan, maka...? Jika saat memasuki (bertamu) ke rumah sesama manusia saja kita akan melepas alas kaki, apalagi (terlebih) saat masuk (bertamu) ke rumah Tuhan. Atau mungkin, kita sebenarnya tidak pernah atau sudah tidak percaya kalimat dalam ayat itu, karena sudah terlanjur terdoktrin bahwa gereja tidak lebih suci dari sebuah aula, auditorium atau gedung serbaguna?
Barangkali kita akan membandingkan Kristen di Eropa atau Amerika yang mempunyai budaya terbiasa memakai alas kaki di dalam rumah atau dengan para orang kaya (seperti di sinetron) yang punya pembantu yang bisa mengepel lantai rumahnya 3 – 5 kali sehari. Sebagai orang Indonesia (bahkan Asia) yang punya budaya yang cukup kental dan merata selalu melepas alas kaki sebelum memasuki rumah (budaya ini lebih sesuai dengan budaya umat Israel yang tertulis di Alkitab), mungkin tidak menjadi persoalan kalau itu kita tiru, tetapi itu hanya berlaku untuk diri sendiri bukan untuk semua orang Indonesia.
Saudaraku sekalian para pengikut Kristus, apa yang Anda rasakan dan pikirkan setelah membaca tulisan singkat ini? Apakah menurut Anda gereja hanyalah bangunan biasa? Apakah menurut Anda saudara kita umat Muslim itu yang lebay ketika masuk ke rumah ibadah mereka. Wudhu dan melepas alas kaki itu tidak penting, yang penting adalah hati. Sehingga akhirnya dengan “berselimut Kasih Karunia” kita pun menjadi orang yang “Super PD”, ibadah orang Kristen-lah yang terbaik, karena saat masuk ke gereja dipastikan bahwa hati dan pikirannya tertuju hanya kepada Tuhan meskipun tidak wudhu dan tidak melepas alas kaki. Wow !!
Atau Anda termasuk orang yang mempertanyakan kebiasaan aneh orang Kristen tersebut? Apakah Anda setuju dengan beberapa uraian di bawah ini yang menjadi faktor penyebab Kristen selalu memakai alas kaki dalam ibadah di gereja?
1.    Posisi ibadah di gereja yang duduk di bangku (kursi),
2.   Etika (aturan tidak tertulis) yang sudah umum, kalau menghadap Tuhan di gereja (khususnya pada hari ibadah) kita  harus berpakaian terbaik dan lengkap dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan;
selanjutnya faktor-faktor tadi diperkuat (lebih cenderung sebagai pembenaran ego) dengan iman (doktrin) Kristen berikut ini:
1.    Kita diselamatkan (masuk ke surga kekal) bukan karena usaha manusia, termasuk beribadah ke gereja tapi karena KASIH KARUNIA (kemurahan Tuhan semata),
2.   Sebesar apapun usaha manusia untuk suci (termasuk membuka kasut sebelum masuk ke “rumahNya”) dia tetaplah manusia berdosa di hadapan Tuhan,

Dalam kesempatan ini saya tidak ingin menyalahkan ibadah yang duduk di bangku, karena dari segi kenyamanan menurut saya memang itu lebih nyaman daripada duduk lesehan. Meskipun saya harus katakan juga, ada pemikiran dalam hati saya, dengan pertimbangan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan (bukan sesama ciptaan), yang statusnya sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat... jauh di bawah Tuhan Sang Pencipta, maka seharusnya saat menghadap “King of the king” kita manusia hanya pantas bersujud (duduk di lantai), bukannya duduk di kursi. Dan mungkin itulah faktor yang menginspirasi seorang berinisial JH untuk menulis lagu “Duduk Dekat Kaki Yesus”. Jadi – seperti judul lagu itu dan ribuan lagu rohani yang sering menggambarkan bahwa menghadap Tuhan  itu dengan “bersujud-menyembah” – saat menghadap Sang Pencipta posisi kepala kita bukan ’sejajar’ dengan kepalaNya tapi sejajar dengan lututNya. Itulah sebabnya saya juga dengan sangat senang hati akan mendukungnya bila Kristen melakukan hal itu (ibadah dengan duduk di lantai).

Pada kesempatan ini saya hanya ingin mengingatkan dan harus mengatakan bahwa kebiasaan Kristen yang memakai alas kaki saat ibadah di gereja itu salah karena bertentangan dengan prinsip kesucian dan kekudusan yang Tuhan telah tanamkan, yang pada aspek kehidupan lainnya sangat kita tekankan dengan mengutip berbagai ayat Alkitab (tidak cukup sekedar “hati yang bersih”). 
Juga bertentangan karena sikap (perlakuan) kita terhadap gereja berbeda dengan kebiasaan kita di rumah sendiri, apalagi karena kita percaya gereja itu adalah rumah Tuhan. Kalau prinsip “gereja adalah rumah Tuhan” itu pun tidak ada lagi, yeah mau bilang apa lagi. Mungkin itu adalah pertimbangan terakhir dan terbesar yang seharusnya bisa mengubah kebiasaan kita. Dengan kata lain dan sedikit berandai-andai, seandainya saat kita masuk ke gereja, Tuhan tidak dapat kita temui karena sedang ke luar kota, kita harus tetap menjaga kebersihan (kesucian) gereja itu, karena itu adalah rumah Tuhan. Jadi apalagi jika Tuhan sedang ada di tempat?! 
Atau mengutip kembali tulisan sebelumnya, saat kita yakin bahwa sepatu kita bersih bebas dari debu kita tetap harus melepas alas kaki, apalagi jika tidak yakin!

Atau pernahkah kita berpikir bahwa mungkin karena keanehan "ibadah" Kristen (di gereja) itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab Muslim tidak tertarik menjadi pengikut Kristus?

Saudaraku sekalian di dalam Kristus, dengan tuntunan Roh Kudus saya berharap kiranya tulisan ini bisa mendorong, menggerakkan hati kita untuk memuliakan Tuhan tidak hanya dengan lidah bahkan hati, tetapi juga dengan sikap kita saat masuk ke rumahNya.
Kiranya Tuhan memberkati kita sekalian.















Artikel Terkait

APAKAH SEPATU TERMASUK PERLENGKAPAN IBADAH DI GEREJA? MANA YANG LEBIH “SUCI” GEREJA (RUMAH IBADAH) ATAU RUMAHMU?
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email

3 komentar

4 Mei 2017 pukul 16.56 delete

Fakta yg benar benar nyata

Reply
avatar
4 Mei 2017 pukul 16.58 delete

Fakta yg benar benar nyata

Reply
avatar