Senin, 01 Juni 2015

DOSA PNS DALAM PERJALANAN DINAS: DOSA BUKAN HANYA KARENA KORUPSI

(Foto: okezone.com)
Sebagai seorang PNS saya sering merasa prihatin melihat teman-teman yang tertutup mata rohaninya oleh benda bernama uang. Mungkin karena faktor sistem yang berlaku atau karena faktor lain, ada fenomena berpikir (tentu sudah lama terjadi) ‘asal tidak merugikan negara, tidak korupsi, itu bukanlah dosa’.  Masalah yang umum terjadi yang menjadi keprihatinan saya adalah berkaitan dengan perjalanan dinas (saya juga pernah melakukannya). Modus “dosa”-nya antara lain :


1.         Mark up (klaim lebih besar dari realisasi) biaya transport
2.         Mark up biaya penginapan
3.         Mark up jumlah hari perjalanan dinas
4.         Klaim biaya transport dan penginapan fiktif
5.         Klaim barang/jasa fiktif, dan (yang paling parah)
6.         Perjalanan dinas fiktif (Pdf)

1.         Mark up biaya transport
Tujuan dari mark up tentu agar mendapat uang tambahan dari marjin realisasi dengan klaim. Misalnya adalah saat perjalanan dinas (biasa disebut DL/dinas luar), si A menumpang bis ekonomi dengan tarif Rp 70.000,00. Tapi saat pengajuan klaim dia membuat tiket fiktif yaitu tiket bis eksekutif dengan tarif Rp 120.000,00. Biasanya tiket fiktif diperoleh dengan meminta/membeli tiket kosong (aspal, asli tapi palsu) saat di loket/agen pembelian dan ada juga yang membuat tiket siluman dengan bantuan teknologi bernama scanner dan printer dan software pengolah image.

2.         Mark up biaya penginapan
Sama seperti biaya transport, modus untuk memperoleh uang tambahan dari biaya penginapan adalah dengan membuat bill aspal atau bill siluman.
Faktor yang mendukung perilaku mark up ini adalah adanya aturan harus melampirkan bukti setiap pengeluaran biaya (yang dapat diklaim) selama DL. Biasanya yang dipakai sebagai acuan adalah nilai tertinggi yang ditetapkan untuk golongan tertentu. Misalnya untuk golongan III nilai tertinggi biaya penginapan Rp 500.000,00/hari. Karena yang akan diganti adalah sejumlah apa yang tertulis di bill (maksimal Rp 500.000,00) maka terjadilah mark up. Realisasi Rp 95.000,00/malam, di bill yang dilampirkan Rp 487.500/malam. Jujur saja sebagai manusia biasa, saya lebih suka apabila sistem yang dipakai adalah sistem paket. Sistem paket yang saya maksud adalah nilai tertentu (tetap) yang akan kita dapatkan setiap DL  tanpa harus melampirkan bukti  pengeluaran. Jadi, bila DL ke kota Semarang biaya penginapan yang akan saya peroleh adalah Rp 500.000,00/hari meskipun saya hanya menginap di losmen dengan tarif Rp 95.000,00/hari. Sebaliknya adalah resiko saya, jika ternyata saya harus membayar Rp 530.000,00/hari karena  saya kehabisan hotel yang (lebih) murah misalnya. Saya tidak tahu apa pertimbangan utama pemerintah membuat sistem seperti itu dan saya juga tidak akan membahas komparasi atas keduanya.

3.         Mark up jumlah hari perjalanan dinas
Pengamatan saya,  ada semacam budaya di kalangan PNS (tentu tidak semua demikian), kerja itu ya, di kantor. Kalau keluar dari kantor, itu harus ada “hitungannya” lagi, meskipun itu masih di dalam daerah (dalam kabupaten/kota). Jadi, apalagi kalau ke luar daerah !! Nah dengan motif seperti itulah plus statement “anggarannya ada kok” dan/atau  “biar ada buat beli oleh-oleh ke rumah” maka modus mark up jumlah hari ini bukan sesuatu yang haram, yang penting gak kebangetan. Akhirnya, kegiatan  yang hanya dilakukan dalam sehari (termasuk pulang dan pergi) tapi dalam SPD dan pertanggung jawaban dibuat 3 hari.

4.         Klaim biaya transport dan penginapan fiktif
Modus ini menurut saya lebih besar akibat pengaruh sistem/kebijakan yang berlaku tetapi itu bukan berarti pelakunya tidak salah. Tidak semua daerah mempunyai sistem angkutan umum yang memadai atau bahkan tidak ada angkutan umum menuju tempat itu. Akibatnya saat DL banyak orang memilih menggunakan motor atau mobil pribadi tapi harus tetap melampirkan bukti pengeluaran baik berupa tiket atau kuitansi atau surat pernyataan yang menyatakan telah mengeluarkan biaya sekian untuk transport ke lokasi tujuan DL. Tentu ada 2 kemungkinan apabila menggunakan kendaraan pribadi, bisa lebih murah atau bisa juga lebih mahal daripada angkutan umum.

5.         Klaim barang/jasa fiktif
Modus ini biasanya terjadi karena adanya fasilitas tambahan bagi yang DL seperti laundry, biaya taksi atau perlengkapan lain tetapi harus melampirkan nota/kuitansi tanda bukti pengeluaran. Yang juga sering terjadi adalah saat me-mark up jumlah hari, maka secara otomatis akan ada tambahan biaya penginapan padahal sama sekali tidak ada menginap.

6.         Perjalanan dinas fiktif (Pdf)
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, modus ini adalah yang terparah. Dimulai dari yang ringan, Pdf biasanya berupa manipulasi jumlah orang yang DL. Realisasinya misalnya hanya A dan B yang DL , tetapi SPD (surat perjalanan dinas) yang dibawa ke tempat tujuan DL (untuk ditandatangani dan di-cap orang yang dituju) terdiri dari SPD si A, B, C dan mungkin ditambah D dan E. Selanjutnya yang berat adalah Pdf dimana sama sekali tidak ada yang berangkat DL tapi membuat SPD fiktif yang mana tanda tangan dan cap yang ada di SPD adalah tiruan.
Sudah dapat dibayangkan dengan Pdf ini maka modus dari poin 1 hingga 5 akan dilakukan, sehingga kerugian yang diakibatkan menjadi berlipat-lipat. Tidak ada kerja tapi “hasil” melimpah.

Tujuan saya membuat tulisan ini adalah terutama ingin menyoroti dan menggarisbawahi kata MARK-UP dan FIKTIF. Sehubungan dengan istilah mark up dan fiktif dalam perjalanan dinas, ada yang mengakui hal itu adalah salah (khususnya poin 1 sampai 5. Untuk poin 6 semuanya mengatakan salah) tetapi ada juga yang mengatakan itu tidak salah. Hal kedua inilah yang ingin saya ingatkan dan luruskan pemahamannya.

Alasan utama orang yang mengatakan mark-up dan fiktif dalam DL itu tidak salah (bukan dosa) adalah itu bukan korupsi, bukan mencuri, itu memang sudah dianggarkan/ada anggarannya, tidak merugikan orang lain.

Mungkin karena tidak tahu atau tidak sadar – khususnya PNS yang Kristen – bahwa  dosa itu terjadi bukan hanya karena kita mencuri atau korupsi saja (perintah/hukum ke-8). Sebagai Kristen yang mempercayai 10 Hukum/Dasa Titah, saat me-mark up (fiktif) maka hukum ke-9 telah kita langgar. Ya, itu adalah perintah Tuhan agar kita jangan bersaksi dusta (Kel. 20 : 6, Mat.5 : 37). Jika yang kita bayar ke resepsionis adalah Rp 220.000,00 maka yang kita klaim ke bendahara kantor adalah Rp 220.000,00 bukan Rp 487.000,00. Dan kalau ternyata kita tidak membayar apa-apa maka jangan pula (bersaksi dusta) mengatakan (secara tertulis di nota/kuitansi/tiket/bill) telah membayar Rp 150.000 untuk biaya...

Selain itu apabila kriteria tidak merugikan orang lain dipakai sebagai acuan maka akan berlaku istilah dosa putih dan dosa hitam. Berbohong untuk kebaikan atau tidak. Padahal Kristen tidak membenarkan istilah itu. Kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak. Semua sudah tahu bahwa uang yang dipakai di pemerintahan itu katanya adalah uang rakyat. Jadi itu bukan milik perorangan, bukan milik keluarga tertentu. Bukan milik presiden, menteri, jaksa, hakim, polisi atau siapapun. Karena itu adalah milik rakyat, berarti itu juga termasuk milik orang/pegawai yang mark up,  karena dia juga bagian dari rakyat itu. Berarti meskipun dia mark up yang dia ambil uangnya sendiri kok. Oleh sebab itulah maka kriteria tidak merugikan orang lain tidak dapat dipakai dalam hal ini.

Hal yang sama (fiktif) juga pernah terjadi di gereja. Kronologinya adalah, ada penawaran bantuan dari Pemda untuk rumah ibadah dengan syarat mengajukan proposal. Singkat cerita setelah proposal dibuat (saya lupa apakah uang bantuan itu diterima dahulu baru membuat SPJ atau belanja barang dahulu baru bantuannya diberikan), maka syarat selanjutnya adalah harus membuat SPJ (surat pertanggungjawaban) dengan melampirkan bukti pengeluaran uang bantuan itu. Karena bingung harus melampirkan apa, karena sebenarnya kebutuhan pada saat itu tidak sebesar bantuan yang akan diterima (jadi, meskipun butuh penggunaannya tidak sesegera SPJ yang diminta), maka tercetuslah ide untuk melampirkan nota pembelian 1 set sound system gereja yang telah dibeli sebelum Pemda memberikan penawaran bantuan itu. Saya masih ingat pada saat itu (dalam rapat di gereja) saya katakan bahwa saya tidak setuju ide itu, karena kita menjadi orang yang munafik. Sudah sangat jelas sound dibeli dengan menggunakan kas gereja, bukan dengan uang bantuan itu dan bukan karena uang bantuan itu sehingga terpikir untuk membeli alat itu. Selain itu dalam dalam proposal juga tidak disebutkan beli 1 set sound system (telah dibeli menggunakan Kas gereja)....... Rp x.xxx.xxx. Kecuali itu tertulis di proposal maka itu bukan fiktif. Nah, begitulah akhirnya pendapat saya kalah dan nota itupun dilampirkan dalam SPJ itu.

Sebagai kesimpulan tulisan ini, saya hanya ingin mengingatkan kepada kita semua, khususnya umat Kristen: Dengan alasan apapun jangan membuat “laporan”  fiktif. Ingat : dosa terjadi tidak selalu karena merugikan orang lain.

Laporan fiktif sama artinya dengan bersaksi dusta. Bersaksi dusta itu dosa. Amin



Artikel Terkait

DOSA PNS DALAM PERJALANAN DINAS: DOSA BUKAN HANYA KARENA KORUPSI
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email

3 komentar

Anonim
19 Mei 2018 pukul 10.09 delete

semoga kemenkeu membaca tulisan ini karena gurita sistem nya seakan memaksa opd mengharuskan pns untuk melakukan semua kecurangan tersebut, naudzubillah.

Reply
avatar