(Foto: okezone.com) |
1.
Mark up
(klaim lebih besar dari realisasi) biaya transport
2.
Mark up
biaya penginapan
3.
Mark up
jumlah hari perjalanan dinas
4.
Klaim biaya transport dan penginapan fiktif
5.
Klaim barang/jasa fiktif, dan (yang paling
parah)
6.
Perjalanan dinas fiktif (Pdf)
1.
Mark up
biaya transport
Tujuan dari mark up tentu agar mendapat uang tambahan dari marjin
realisasi dengan klaim. Misalnya adalah saat perjalanan dinas (biasa disebut DL/dinas
luar), si A menumpang bis ekonomi dengan tarif Rp 70.000,00. Tapi saat
pengajuan klaim dia membuat tiket fiktif yaitu tiket bis eksekutif dengan tarif
Rp 120.000,00. Biasanya tiket fiktif diperoleh dengan meminta/membeli tiket
kosong (aspal, asli tapi palsu) saat di loket/agen pembelian dan ada juga yang
membuat tiket siluman dengan bantuan teknologi bernama scanner dan printer dan
software pengolah image.
2.
Mark
up biaya penginapan
Sama seperti biaya transport, modus untuk memperoleh uang tambahan dari
biaya penginapan adalah dengan membuat bill
aspal atau bill siluman.
Faktor yang mendukung perilaku mark
up ini adalah adanya aturan harus melampirkan bukti setiap pengeluaran
biaya (yang dapat diklaim) selama DL. Biasanya yang dipakai sebagai acuan
adalah nilai tertinggi yang ditetapkan untuk golongan tertentu. Misalnya untuk
golongan III nilai tertinggi biaya penginapan Rp 500.000,00/hari. Karena yang
akan diganti adalah sejumlah apa yang tertulis di bill (maksimal Rp 500.000,00) maka terjadilah mark up. Realisasi Rp 95.000,00/malam, di bill yang dilampirkan Rp 487.500/malam. Jujur saja sebagai manusia biasa, saya lebih suka apabila sistem
yang dipakai adalah sistem paket. Sistem paket yang saya maksud adalah nilai
tertentu (tetap) yang akan kita dapatkan setiap DL tanpa harus melampirkan bukti pengeluaran. Jadi, bila DL ke kota Semarang biaya
penginapan yang akan saya peroleh adalah Rp 500.000,00/hari meskipun saya hanya
menginap di losmen dengan tarif Rp 95.000,00/hari. Sebaliknya adalah resiko
saya, jika ternyata saya harus membayar Rp 530.000,00/hari karena saya kehabisan hotel yang (lebih) murah
misalnya. Saya tidak tahu apa pertimbangan utama pemerintah membuat sistem
seperti itu dan saya juga tidak akan membahas komparasi atas keduanya.
3.
Mark
up jumlah hari perjalanan dinas
Pengamatan saya, ada semacam
budaya di kalangan PNS (tentu tidak semua demikian), kerja itu ya, di kantor. Kalau
keluar dari kantor, itu harus ada “hitungannya” lagi, meskipun itu masih di
dalam daerah (dalam kabupaten/kota). Jadi, apalagi kalau ke luar daerah !! Nah
dengan motif seperti itulah plus statement “anggarannya ada kok” dan/atau “biar ada buat beli oleh-oleh ke rumah” maka
modus mark up jumlah hari ini bukan
sesuatu yang haram, yang penting gak kebangetan. Akhirnya, kegiatan yang hanya dilakukan dalam sehari (termasuk
pulang dan pergi) tapi dalam SPD dan pertanggung jawaban dibuat 3 hari.
4.
Klaim biaya transport dan penginapan fiktif
Modus ini menurut saya lebih besar akibat pengaruh sistem/kebijakan yang
berlaku tetapi itu bukan berarti pelakunya tidak salah. Tidak semua daerah
mempunyai sistem angkutan umum yang memadai atau bahkan tidak ada angkutan umum
menuju tempat itu. Akibatnya saat DL banyak orang memilih menggunakan motor
atau mobil pribadi tapi harus tetap melampirkan bukti pengeluaran baik berupa
tiket atau kuitansi atau surat pernyataan yang menyatakan telah mengeluarkan
biaya sekian untuk transport ke lokasi tujuan DL. Tentu ada 2 kemungkinan
apabila menggunakan kendaraan pribadi, bisa lebih murah atau bisa juga lebih
mahal daripada angkutan umum.
5.
Klaim barang/jasa fiktif
Modus ini biasanya terjadi karena adanya fasilitas tambahan bagi yang DL
seperti laundry, biaya taksi atau
perlengkapan lain tetapi harus melampirkan nota/kuitansi tanda bukti
pengeluaran. Yang juga sering terjadi adalah saat me-mark up jumlah hari, maka secara otomatis akan ada tambahan biaya
penginapan padahal sama sekali tidak ada menginap.
6.
Perjalanan dinas fiktif (Pdf)
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, modus ini adalah yang terparah.
Dimulai dari yang ringan, Pdf biasanya berupa manipulasi jumlah orang yang DL.
Realisasinya misalnya hanya A dan B yang DL , tetapi SPD (surat perjalanan
dinas) yang dibawa ke tempat tujuan DL (untuk ditandatangani dan di-cap orang
yang dituju) terdiri dari SPD si A, B, C dan mungkin ditambah D dan E.
Selanjutnya yang berat adalah Pdf dimana sama sekali tidak ada yang berangkat
DL tapi membuat SPD fiktif yang mana tanda tangan dan cap yang ada di SPD
adalah tiruan.
Sudah
dapat dibayangkan dengan Pdf ini maka modus dari poin 1 hingga 5 akan
dilakukan, sehingga kerugian yang diakibatkan menjadi berlipat-lipat. Tidak ada
kerja tapi “hasil” melimpah.
Tujuan saya membuat tulisan ini adalah terutama ingin
menyoroti dan menggarisbawahi kata MARK-UP dan FIKTIF. Sehubungan dengan
istilah mark up dan fiktif dalam
perjalanan dinas, ada yang mengakui hal itu adalah salah (khususnya poin 1
sampai 5. Untuk poin 6 semuanya mengatakan salah) tetapi ada juga yang
mengatakan itu tidak salah. Hal kedua inilah yang ingin saya ingatkan dan
luruskan pemahamannya.
Alasan utama orang yang mengatakan mark-up dan fiktif dalam DL itu tidak salah (bukan dosa) adalah itu bukan korupsi, bukan mencuri, itu memang
sudah dianggarkan/ada anggarannya, tidak merugikan orang lain.
Mungkin karena tidak tahu atau tidak sadar – khususnya PNS
yang Kristen – bahwa dosa itu terjadi bukan
hanya karena kita mencuri atau korupsi saja (perintah/hukum ke-8). Sebagai
Kristen yang mempercayai 10 Hukum/Dasa Titah, saat me-mark up (fiktif) maka hukum ke-9 telah kita langgar. Ya, itu adalah
perintah Tuhan agar kita jangan bersaksi
dusta (Kel. 20 : 6, Mat.5 : 37). Jika yang kita bayar ke resepsionis adalah
Rp 220.000,00 maka yang kita klaim ke bendahara kantor adalah Rp 220.000,00
bukan Rp 487.000,00. Dan kalau ternyata kita tidak membayar apa-apa maka jangan
pula (bersaksi dusta) mengatakan (secara tertulis di nota/kuitansi/tiket/bill) telah membayar Rp 150.000 untuk
biaya...
Selain itu apabila kriteria tidak merugikan orang lain dipakai sebagai acuan maka akan berlaku
istilah dosa putih dan dosa hitam. Berbohong untuk kebaikan atau tidak. Padahal
Kristen tidak membenarkan istilah itu. Kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan
tidak. Semua sudah tahu bahwa uang yang dipakai di pemerintahan itu katanya
adalah uang rakyat. Jadi itu bukan milik perorangan, bukan milik keluarga
tertentu. Bukan milik presiden, menteri, jaksa, hakim, polisi atau siapapun.
Karena itu adalah milik rakyat, berarti itu juga termasuk milik orang/pegawai
yang mark up, karena dia juga bagian dari rakyat itu.
Berarti meskipun dia mark up yang dia
ambil uangnya sendiri kok. Oleh sebab itulah maka kriteria tidak merugikan
orang lain tidak dapat dipakai dalam hal ini.
Hal yang sama (fiktif) juga pernah terjadi di gereja.
Kronologinya adalah, ada penawaran bantuan dari Pemda untuk rumah ibadah dengan
syarat mengajukan proposal. Singkat cerita setelah proposal dibuat (saya lupa
apakah uang bantuan itu diterima dahulu baru membuat SPJ atau belanja barang
dahulu baru bantuannya diberikan), maka syarat selanjutnya adalah harus membuat
SPJ (surat pertanggungjawaban) dengan melampirkan bukti pengeluaran uang
bantuan itu. Karena bingung harus melampirkan apa, karena sebenarnya kebutuhan
pada saat itu tidak sebesar bantuan yang akan diterima (jadi, meskipun butuh
penggunaannya tidak sesegera SPJ yang diminta), maka tercetuslah ide untuk
melampirkan nota pembelian 1 set sound
system gereja yang telah dibeli
sebelum Pemda memberikan penawaran bantuan itu. Saya masih ingat pada saat
itu (dalam rapat di gereja) saya katakan bahwa saya tidak setuju ide itu,
karena kita menjadi orang yang munafik. Sudah sangat jelas sound dibeli dengan menggunakan kas gereja, bukan dengan uang
bantuan itu dan bukan karena uang bantuan itu sehingga terpikir untuk membeli
alat itu. Selain itu dalam dalam proposal juga tidak disebutkan beli 1 set sound system (telah dibeli
menggunakan Kas gereja)....... Rp x.xxx.xxx. Kecuali itu tertulis di
proposal maka itu bukan fiktif. Nah, begitulah akhirnya pendapat saya kalah dan
nota itupun dilampirkan dalam SPJ itu.
Sebagai kesimpulan tulisan ini, saya hanya ingin mengingatkan
kepada kita semua, khususnya umat Kristen: Dengan alasan apapun jangan membuat “laporan” fiktif. Ingat : dosa terjadi tidak selalu karena merugikan orang lain.
Laporan fiktif sama artinya dengan bersaksi dusta. Bersaksi
dusta itu dosa. Amin
DOSA PNS DALAM PERJALANAN DINAS: DOSA BUKAN HANYA KARENA KORUPSI
4/
5
Oleh
lassee
3 komentar
setuju banget
ReplyMamtap.., GBU
Replysemoga kemenkeu membaca tulisan ini karena gurita sistem nya seakan memaksa opd mengharuskan pns untuk melakukan semua kecurangan tersebut, naudzubillah.
Reply